“Assalamualaikum, Undangan Pernikahan, Ahad…..2007, pukul…., jazakumullah, Fulanah & Fulan.”
Begitu kira-kira isi sms yang ana (saya) terima baru-baru ini dari seorang akhwat teman ana, yang tinggal di seberang lautan
Beberapa waktu yang lalu teman dekat ana bercerita dengan wajah sumringah, bahwa ia baru saja ditawari ikhwan oleh salah satu ummahat. Kebetulan orang tua ikhwan itu ingin dapat menantu yang satu suku dengan mereka. Karena itulah teman ana yang satu suku dengan ikhwan ini yang ditawari proposal ini oleh seorang ummahat. Waktu mendengar penuturan teman ana cuma bisa tersenyum hambar. Bukan karena ana cemburu kenapa hanya dia yang ditawari, tapi lebih….lebih karena ana sendiri masih dalam masa “hampa”dari keinginan untuk menikah. Memang beberapa waktu yang lalu semangat ana sempat memuncak untuk menikah. Tapi kemudian turun naik turun lalu naik lagi. Di saat keinginan sedang naik tersebut, ana sempat kecewa dengan ikhwan-ikhwan di
Akhirnya ana pun memutuskan menerima proposal dari seorang ikhwan yang tinggal di seberang lautan
Tapi qadarullah (takdir Allah) nazhar tersebut tidak berlanjut sampai ke pelaminan, karena ada beberapa hal dalam diri ikhwan ini yang ana anggap fatal, terutama dalam ilmu din-nya yaitu dalam fikih dakwah. Abi pun berpendapat ada kekurangan dari diri ikhwan tersebut dalam hal sifat yang dirasa abi tidak akan bisa cocok dengan ana. Begitu pula ummi yang tidak menyukai ikhwan tersebut dalam hal penampilan saat pertemuan pertama. Mudah-mudahan hal ini dapat dijadikan pelajaran bagi tiap ikhwan yang akan datang PDKT pada camer, agar dapat memahami situasi dan kondisi yang ada, memahami sifat dan karakter camer dan jangan “asbak” asal tembak saja dalam berdakwah pada camer. Penampilan yang rapi dan bersih pun, akan menjadi nilai positif di mata camer. Ya berbagi pengalaman saja.
Setelah kegagalan tersebut, ana berniat hanya akan berkonsentrasi untuk mengerjakan skripsi ana yang terbengkalai, sehingga ana menolak beberapa proposal yang masuk. Itulah hati manusia memang mudah terbolak-balik. Di saat ingin menikah tidak ada proposal yang menghampiri. Di saat feeling (rasa) itu lenyap, runtutan proposaldatang seolah-olah mengejek ana. Ana, entah mengapa, semenjak kegagalan taaruf pertama, tidak berminat lagi menikah saat kuliah. Pikiran-pikiran buruk terus menghantui ana. Ana takut tidak bisa menjalani dua tugas berat sekaligus, menjadi istri dan mahasiswi.
Dalam hal ini ana memang berbeda dengan teman ana yang di wilayah Indonesia Tengah. Meskipun ia lebih muda dari ana dan dengan masa kuliah yang insyaaalah masih akan selesai 2-3 tahun lagi, tapi ia sangat gigih memperjuangkan pernikahannya. Akhwat ini sering menasihati ana tentang fadhilah (keutamaan) pernikahan, walaupun seiring perkuliahan. Mungkin juga dia ada benarnya, tapi keraguan masih berputar-putar di benak ana.
Kadang ana menilai diri ini “tidak tahu diri”, karena di saat banyak akhwat yang hampir mendekati usia senja sedang menanti-nantikan pujaan hati datang melamarnya, ana malah menyia-nyiakan kesempatan untuk menikah di usia muda ini. Padahal orang tua ana sudah memberikan lampu hijau bagi ana untuk menikah denganlaki-laki yang bertitel ikhwan berikut ‘atribut” yang ada.
Tapi…lagi-lagi keraguan datang. Sudah setahun lebih ana berkutat dengan skripsi ana, sampai datang kenyataan bahwa ana harus mulai dari awal lagi, karena judul skripsi ana menjadi perdebatan di kalangan dosen. Ana mengalah, ana tidak mau mengambil resiko dengan mencari ribut dengan para dosen, sehingga ana memutuskan mencari judul baru yang bertolakbelakang dari judul ana sebelumnya. Jadi, mau tak mau ana harusmemulai perjuangan baru lagi perihal skripsi ini sementara orang tua ana dengan harap-harap cemas menanti gelar sarjana yang akan nempel di belakang nama ana. Apakah kelak ana bisa menyeimbangkan tugas sebagai istri dan mahasiswi secara bersamaan jika ana nikah sambil kuliah?
Begitulah keraguan masih saja menggelayut dalam benak ana.
Sementara itu lain lagi masalah yang dihadapi teman ana. Seorang akhwat yang berada tidak jauh dari ujung timur
Seorang teman lagi dia akan menikah dalam waktu dekat. Ia bercerita bahwa sang ikhwan –calon suaminya- langsung datang ke rumahnya dan langsung melamar, tanpa ia tahu dari mana si ikhwan kenal dia. Ya, lagi-lagi, masukan ana dapatkan dari akhwat ini, “Jangan terlalu berlebih-lebihan cari jodoh. Jodoh itu nggak tahu kapan datangnya. Contohnya saja ana, ikhwannya langsung datang ke rumah tanpa perlu dicari-cari!” seloroh teman saat ana bercerita bahwa ana ingin menikah. Ya mungkin iya bagi dia. Allah telah memudahkan urusannya dalam hal jodoh. Tapi bagaimana dengan yang lain? Jalan mencari jodoh tiap orang berbeda-beda. Contohnya kasus seorang akhwat yang berkali-kali taaruf, tapi gagal selalu karena ikhwannya mendambakan kelebihan dari segi fisik pada diri calon istrinya. Mudah-mudahan Allah menganugerahkan pahala yang berlipat ganda atas kesabaranmu yaa ukhti…
Mungkin sekilas, kisah yang ana hadirkan untuk pembaca ini, seperti kisah fiktif yang sering beredar di pasaran sebagai ‘novel islami’. Tapi kisah ini adalah nyata ana alami, berikut dengan kisah-kisah teman-teman ana yang tersebar di berbagai
Menimbang mudharat (keburukan) dan mashlahat (kebaikan) yang akan timbul, maka ana masih berbingung ria menghadapi masalah ini. Adakah nasihat untuk ana? Sekarang ana masih menanti dan menanti. Kapan waktuku tiba…? (Ummu Syafiq)
Saya menyatakan bahwa cerita ini benar-benar kisah nyata tanpa ada rekayasa
Ttd
(Deasy Novriana-Ummu Syafiq)
Catatan Redaksi
Menikah sambil kuliah? Aduh mungkin belum bisa dibayangkan bagaimana repotnya oleh sebagian orang. Bagaimana tidak, mikirin dan ngurusin kuliah saja sudah repot dan melelahkan, apalagi ditambah pekerjaan rumah serta melayani suami dan anak, jadi bertumpuk
Begitulah seringkali sesuatu menjadi berat saat masih di awang-awang, padahal kita tidak tahu ada banyak kemudahan ketika dikerjakan. Apalagi jika keinginan tersebut semata-mata untuk mencari keridhaan Allah Taala semata, insyaallah pintu kemudahan akan terbuka dari arah yang tak disangka-sangka (min haisu laa yahtasib)
Menikah merupakan ibadah mulia yang penuh dengan keutamaan.
Cobalah dipikir sekali lagi dengan memakai “kerudung kuning” untuk mengimbangi kebimbangan saudari yang disebabkan harena hanya menimbang “kerudung hitam dan merah” kerudung kuning, hitam dan merah? Ah ini hanya terinspirasi dari “six thinking hat”-nya De- Bono. Bingung maaf. (Opo to maksude redaksi ki? Ra mudeng blas!)
Intinya cobalah saudari lebih positive thinking terhadap nikah sambil kuliah. Sisihkan persangkaan dan bayang-bayang buruk yang menghantui saudari. Lebih enak untuk husnuzhan. (berprasangka baik)
Dengan menikah ada pendamping yang menemani saudari ketika sibuk di depan komputer menyelesaikan skripsi, memburu dosen pembimbing untuk minta ACC, atau membantu saudari dalam mengumpulkan data-data. Bahkan ketika saudari kelelahan melakukan hal ini itu ada yang menghibur maupun berusaha menghilangkannya. Dengan memijat atau sentuhan mesra lainnya. Nah gimana? Menikah sambil kuliah lebih enak bukan?
Setelah menikah saudari bisa bebas ke kampus tanpa harus takut ikhtilat dan khalwat, tentu saja karena suami saudari bisa membantu melakukan urusan administratif maupun birokrasi bila saudari harus berhadapan dengan lain jenis yang bukan mahram. Jadi, sungguh mengherankan kalau hal ini malah membuat saudari “malas” menikah. Kuliah
okey sampe sini dulu ya.....
smoga ada hikmah di balik fakta.....
0 komentar:
Posting Komentar